![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizkXzYsdqxE2nerV1ezzDLmwEnCzV9ZCRfYA2JZsQcVpnuAEkfc4kf7teBGioVIdpqnzABOJkK0Ocm6d6-0k9B4-cDCJmNi4PbIfEglXvel0-5dtbXutsZaRA7fdL8BXAczHV06s3j942W/s1600/pemulung.jpg)
Kali
ini blog Sederhana ini akan update dengan kisah nyata tentang
perjuangan hidup seorang mahasiswi yang kuliah sambil menjadi pemulung.
Kisah nyata ini saya ambil dari usaha kreatif muslim[dot]com. Semoga
kisah ini bermanfaat untuk perenungan kita semua, Aamiin.
Punya pendidikan tinggi merupakan impian tiap orang. Tapi, bagaimana
jika kemiskinan terus menghadang. Jangankan untuk biaya kuliah, buat
makan saja susah.
Berikut ini penelusuran dan wawancara Eramuslim dengan seorang pemulung
yang kini bisa terus kuliah di jurusan akuntansi di Pamulang, Tangerang.
Mahasiswi berjilbab itu bernama Ming Ming Sari Nuryanti.
Sudah berapa lama Ming Ming jadi pemulung ?
Sejak tahun 2004. Waktu itu mau masuk SMU. Karena penghasilan ayah semakin tidak menentu, kami sekeluarga menjadi pemulung.
Sekeluarga ?
Iya. Setiap hari, saya, ayah, ibu, dan lima adik saya berjalan selama 3
sampai 4 jam mencari gelas mineral, botol mineral bekas, dan kardus.
Kecuali adik yang baru kelas 2 SD yang tidak ikut.
***
Tempat tinggal Ming Ming berada di perbatasan antara Bogor dan
Tangerang. Tepatnya di daerah Rumpin. Dari Serpong kurang lebih berjarak
40 kilometer. Kawasan itu terkenal dengan tempat penggalian pasir, batu
kali, dan bahan bangunan lain. Tidak heran jika sepanjang jalan itu
kerap dipadati truk dan suasana jalan yang penuh debu. Di sepanjang
jalan itulah keluarga pemulung ini memunguti gelas dan botol mineral
bekas dengan menggunakan karung.
Tiap hari, mereka berangkat sekitar jam 2 siang. Pilihan jam itu diambil
karena Ming Ming dan adik-adik sudah pulang dari sekolah. Selain itu,
bertepatan dengan jam berangkat sang ayah menuju tempat kerja di kawasan
Ancol.
Setelah berjalan selama satu setengah sampai dua jam, sang ayah pun naik
angkot menuju tempat kerja. Kemudian, ibu dan enam anak itu pun kembali
menuju rumah. Sepanjang jalan pergi pulang itulah, mereka memunguti
gelas dan botol mineral bekas.
Berapa banyak hasil yang bisa dipungut ?
Nggak tentu. Kadang-kadang dapat 3 kilo. Kadang-kadang, nggak nyampe
sekilo. Kalau cuaca hujan bisa lebih parah. Tapi, rata-rata per hari
sekitar 2 kiloan.
Kalau dirupiahkan?
Sekilo harganya 5 ribu. Jadi, per hari kami dapat sekitar 10 ribu rupiah.
Apa segitu cukup buat 9 orang per hari ?
Ya dicukup-cukupin. Alhamdulillah, kan ada tambahan dari penghasilan
ayah. Walau tidak menentu, tapi lumayan buat keperluan hidup.
***
Ming Ming menjelaskan bahwa uang yang mereka dapatkan per hari
diprioritaskan buat makan adik-adik dan biaya sekolah mereka. Sementara
Ming Ming sendiri sudah terbiasa hanya makan sekali sehari. Terutama di
malam hari.
Selain itu, mereka tidak dibingungkan dengan persoalan kontrak rumah.
Karena selama ini mereka tinggal di lahan yang pemiliknya masih teman
ayah Ming Ming. Di tempat itulah, mereka mendirikan gubuk sederhana yang
terbuat dari barang-barang bekas yang ada di sekitar.
Berapa hari sekali, pengepul datang ke rumah Ming Ming untuk menimbang dan membayar hasil pungutan mereka.
Kalau lagi beruntung, mereka bisa dapat gelas dan botol air mineral
bekas di tempat pesta pernikahan atau sunatan. Sayangnya, mereka harus
menunggu acara selesai. Menunggu acara pesta itu biasanya antara jam 9
malam sampai jam 2 pagi. Selama 5 jam itu, Ming Ming sebagai anak
sulung, ibu dan dua adiknya berkantuk-kantuk di tengah keramaian dan
hiruk pikuk pesta.
Kalau di hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, keluarga pemulung ini juga
punya kebiasaan yang berbeda dengan keluarga lain. Mereka tidak
berkeliling kampung, berwisata, dan silaturahim ke handai taulan. Mereka
justru memperpanjang rute memulung, karena biasanya di hari raya itu,
barang-barang yang mereka cari tersedia lebih banyak dari hari-hari
biasa.
Ming Ming tidak malu jadi pemulung ?
Awalnya berat sekali. Apalagi jalan yang kami lalui biasa dilalui
teman-teman sekolah saya di SMU N 1 Rumpin. Tapi, karena tekad untuk
bisa membiayai sekolah dan cinta saya dengan adik-adik, saya jadi biasa.
Nggak malu lagi.
Dari mana Ming Ming belajar Islam ?
Sejak di SMU. Waktu itu, saya ikut rohis. Di rohis itulah, saya belajar
Islam lewat mentoring seminggu sekali yang diadakan sekolah.
Ketika masuk kuliah, saya ikut rohis. Alhamdulillah, di situlah saya bisa terus belajar Islam.
Orang tua tidak masalah kalau Ming Ming memakai busana muslimah?
Alhamdulillah, nggak. Mereka welcome saja. Bahkan sekarang, lima adik perempuan saya juga sudah pakai jilbab.
***
Walau sudah mengenakan busana muslimah dengan jilbab yang lumayan
panjang, Ming Ming dan adik-adik tidak merasa risih untuk tetap menjadi
pemulung. Mereka biasa membawa karung, memunguti gelas dan botol air
mineral bekas, juga kardus. Bahkan, Ming Ming pun sudah terbiasa
menumpang truk. Walaupun, ia harus naik di belakang.
Ming Ming kuliah di mana ?
Di Universitas Pamulang, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi S1.
Maaf, apa cukup pendapatan Ming Ming untuk biaya kuliah ?
Jelas nggak. Tapi, buat saya, kemiskinan itu ujian dari Allah supaya
kita bisa sabar dan istiqamah. Dengan tekad itu, saya yakin bisa terus
kuliah.
Walaupun, di semester pertama, saya nyaris keluar. Karena nggak punya
uang buat biaya satu semester yang jumlahnya satu juta lebih.
Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semuanya bisa terbayar.
***
Di awal-awal kuliah, muslimah kelahiran tahun 90 ini memang benar-benar
melakukan hal yang bisa dianggap impossible. Tanpa uang memadai, ia
bertekad kuat bisa masuk kuliah.
Ketika berangkat kuliah, sang ibu hanya memberikan ongkos ke Ming Ming
secukupnya. Artinya, cuma ala kadarnya. Setelah dihitung-hitung, ongkos
hanya cukup untuk pergi saja. Itu pun ada satu angkot yang tidak masuk
hitungan alias harus jalan kaki. Sementara pulang, ia harus memutar otak
supaya bisa sampai ke rumah. Dan itu ia lakukan setiap hari.
Sebagai gambaran, jarak antara kampus dan rumah harus ditempuh Ming Ming
dengan naik empat kali angkot. Setiap angkot rata-rata menarik tarif
untuk jarak yang ditempuh Ming Ming sekitar 3 ribu rupiah. Kecuali satu
angkot di antara empat angkot itu yang menarik tarif 5 ribu rupiah.
Karena jarak tempuhnya memang maksimal. Jadi, yang mesti disiapkan Ming
Ming untuk sekali naik sekitar 14 ribu rupiah.
Di antara trik Ming Ming adalah ia pulang dari kuliah dengan berjalan
kaki sejauh yang ia kuat. Sambil berjalan pulang itulah, Ming Ming
mengeluarkan karung yang sudah ia siapkan. Sepanjang jalan dari Pamulang
menuju Serpong, ia melepas status kemahasiswaannya dan kembali menjadi
pemulung.
Jadi, jangankan kebayang untuk jajan, makan siang, dan nongkrong seperti
mahasiswa kebanyakan; bisa sampai ke rumah saja bingungnya bukan main.
Sekarang apa Ming Ming masih pulang pergi dari kampus ke rumah dan menjadi pemulung sepulang kuliah ?
Saat ini, alhamdulillah, saya dan teman-teman UKM Muslim (Unit Kegiatan
Mahasiswa Muslim) sudah membuat unit bisnis. Di antaranya, toko muslim.
Dan saya dipercayakan teman-teman sebagai penjaga toko.
Seminggu sekali saya baru pulang. Kalau dihitung-hitung, penghasilannya hampir sama.
Jadi Ming Ming tidak jadi pemulung lagi ?
Tetap jadi pemulung. Kalau saya pulang ke rumah, saya tetap memanfaatkan
perjalanan pulang dengan mencari barang bekas. Bahkan, saya ingin
sekali mengembangkan bisnis pemulung keluarga menjadi tingkatan yang
lebih tinggi. Yaitu, menjadi bisnis daur ulang. Dan ini memang butuh
modal lumayan besar.
Cita-cita Ming Ming ?
Saya ingin menjadi da’i di jalan Allah. Dalam artian, dakwah yang lebih
luas. Bukan hanya ngisi ceramah, tapi ingin mengembangkan potensi yang
saya punya untuk berjuang di jalan Allah. (MN) [Sumber : Era Muslim]
Naahhh…
Bagaimana dengan kita ?
Masihkah kita mengeluh dan tidak bersyukur dengan tidak memaksimalkan potensi yang ada pada diri ?!